PANIC BUYING BERDAMPAK PADA EKONOMI
Meutia Layli
Kusumaningdiah Retno S.
Pandemi Covid-19 sudah hampir memasuki umur ketiga, yaitu terhitung dari munculnya di tahun 2019 dan kini sudah memasuki tahun 2021. Banyak cara pemerintah diterapkan untuk dapat memutus mata rantai penularan virus Covid-19 ini, yang mana sekarang sudah muncul varian baru yaitu varian Delta.
Dengan adanya cara pemerintah seperti lockdown, PSBB, dan saat ini diganti dengan istilah baru yaitu PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Meningkatnya jumlah pasien yang terpapar virus Covid-19 bahkan jumlah kematian yang disebabkan oleh virus ini membuat banyaknya beredar rumor-rumor atau hoax terkait dengan obat Covid-19.
Sempat terjadi peristiwa Panic Buying di awal masa pandemi, yaitu masyarakat memborong dalam jumlah yang besar-besaran produk masker dan hand sanitizer sehingga banyak nakes yang sangat sulit mendapatkan produk tersebut padahal krusial untuk mereka. Setelah kejadian tersebut, belum lama ini muncul kembali peristiwa panic buying yaitu pembelian dengan jumlah yang besar-besaran produk susu dan kelapa sehingga di segala supermarket maupun minimarket menjadi sangat sulit ditemukan, atau jika ditemukan pun dijual dengan harga yang melambung.
Peristiwa panic buying atau penimbunan barang tersebut dilakukan konsumen karena pengaruh psikologis karena informasi yang diterima tidak lengkap.
Dalam perekonomian, pembelian dalam jumlah yang besar-besaran untuk suatu produk atau barang akan berdampak pada sisi permintaan. Jika permintaan tinggi, dan jumlah barang hanya sedikit maka akan membuat harga barang semakin mahal. Hal seperti ini akan dimanfaatkan oleh beberapa oknum yang mencari keuntungan. Jika supply dan demand tidak seimbangm maka akan terjadi kelangkaan yang menyebabkan harga jual semakin tinggi.